Hak Cipta; Musik Pop Daerah - ReferensiBisnis.com

3 Jul 2010

Hak Cipta; Musik Pop Daerah

Perkembangan industri musik di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penelitian industri budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia (tahun 2006 berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya UI) selama tahun 2003-2007 telah menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia telah tumbuh industri musik dalam skala lokal. Beberapa daerah yang dijadikan tempat penelitian selama tiga tahun tersebut meliputi; Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Menado, Kupang, Medan, Makasar, dan Padang.
Dalam tulisan ini, pengertian industri musik di daerah adalah suatu produk musik yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia. Produknya dapat berupa musik tradisi lokal dan musik pop lokal maupun musik pop nasional. Musik tradisi lokal menggunakan alat musik tradisional (pentatonis) maupun alat musik modern (diatonis) yang mengkorvesi nada bunyi musik tradisi. Dalam musik tradisi lokal bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat.
Dalam musik pop lokal, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan genre musik nasional ada irama dangdut bahkan juga rock. Alat musik yang digunakan juga sama dengan alat musik yang digunakan pada alat-alat musik pop nasional, yaitu alat musik diatonis. Pemakaian bahasa merupakan ciri utama yang membedakannya dengan musik nasional. Apabila musik nasional menggunakan bahasa Indonesia dalam lirik lagunya, maka musik pop daerah menggunakan bahasa daerah setempat dalam lirik lagunya. Pembedaan lainnya antara musik daerah dan musik nasional adalah adanya dominasi sisipan-sisipan bunyi alat musik tradisional dalam musik pop lokal.
Pembedaan ini perlu dikemukakan dalam tulisan ini, mengingat selain industri musik lokal, di berbagai daerah di Indonesia pun telah lama menjadi pasar industri musik nasional. Apabila dikaitkan dengan judul tulisan, maka permasalahan hak cipta yang dibahas adalah yang menyangkut industri musik lokal. Bukan industri musik nasional di daerah.
Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal
Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa cara. Berikut ini akan dipaparkan berapa cara yang umum dilakukan dalam pelanggaran hak cipta industri musik lokal:
• Pertama, membajak dalam bentuk merekam langsung dari tv kemudian diubah ke dalam format vcd untuk diperjualbelikan di tempat-tempat umum. Cara kerja pembajakan ini cukup popular di berbagai daerah, seiring dengan berkembangnya stasiun-stasiun tv lokal. Kasus dengan modus operandi yang juga berlaku dalam industri musik nasional ini, terutama dapat ditemukan di wilayah Bali, Surabaya, dan Bandung. Untuk wilayah Bali, hal itu dimungkinkan dengan adanya program siaran khusus lagu-lagu Bali secara teratur di Bali TV. Selain itu terdapat pula selingan-selingan pada pergantian berbagai acara tv ataupun adanya penayangan iklan musik lokal. Pada kasus di Surabaya dimungkinkan dengan adanya penayangan dalam selingan acara maupun pemasangan iklan di Jawa TV. Sementara pada kasus di Bandung pembajakan musik lokal dimungkinkan terjadi karena adanya siaran-siaran musik lokal di TVRI stasiun Bandung.
• Kedua, merekam dari vcd asli ke dalam format vcd. Beberapa daerah penelitian memang telah menghasilkan produk-produk industri musik lokal dalam format vcd. Hal itu dimungkinkan dengan pemanfaatan teknologi yang semakin familiar karena semakin mudah dipelajari dan murah. Sehingga dengan handycam yang penggunaannya semakin memasyarakat dan dibantu seperangkat komputer maka telah dapat diproduksi vcd musik lokal. Akan tetapi, pada sisi lain pemanfaatan teknologi komputer yang semakin familiar juga telah dimanfaatkan oleh para pembajak dengan cara meng- copy produk-produk asli ke dalam disk kosong untuk kemudian menjualnya ke pasaran.
• Ketiga, merekam dari vcd kemudian diubah ke dalam bentuk mp3 dan diperjualbelikan ke pasaran. Produk-produk dalam format mp3 sangat digemari konsumen karena merekam banyak lagu dalam satu keping cakram (disk) dan murah harganya. Jumlah lagu yang terdapat dalam setiap keping mp3 minimal berjumlah 40 lagu. Oleh karena dapat merekam banyak lagu, maka dalam produk bajakan dengan format mp3 biasanya terdapat lebih dari dua album produk asli yang dibajak. Pada kasus industri musik di daerah terdapat produk mp3 bajakan yang merupakan campuran dari album pop lokal dan pop nasional.
• Keempat, dari kaset kemudian diubah ke dalam bentuk vcd. Dalam penelitian, cara seperti ini hanya terjadi satu kasus saja yaitu di Pontianak. Seperti diketahui bahwa kaset hanya menyajikan sisi audio saja, sementara vdc bersifat audio visual. Untuk mengisi ruang visual tersebut pembajak mengambil gambar apa saja. Dalam kasus-kasus produk industri musik nasional biasanya pembajak akan mengambil gambar penyanyi yang bersangkutan ketika melakukan pertunjukan di tv-tv nasional. Meskipun lagu dan penampilan tidak nyambung, lagu yang berada di format vcd bajakan bukan lagu yang dinyanyikan ketika penyanyi tersebut tampil di tv. Dalam kasus di Pontianak si penyanyi yang dibajak tidak pernah melakukan pertunjukan untuk program tv dan tidak memproduksi vcd. Oleh karena tidak ada gambar si penyanyi, si pembajak kemudian menempatkan film Folra dan Fauna dalam vcd bajakan tersebut.
• Kelima, mengubah lagu atau karya musik. Dalam hal ini ada dua penyebabnya, pertama si pencipta lagu mengadaptasi lagu-lagu karya orang lain tanpa izin. Kedua, disebabkan adanya campur tangan produsen yang menginginkan produknya laku di pasaran tanpa memperdulikan hak cipta. Campur tangan produser dalam menentukan suatu produk rekaman terutama berlaku pada artis atau grup band yang dikontrak oleh produser rekaman. Hal ini dikarenakan musik yang dibuat harus berdasarkan orientasi pasar sang produser. Menurut salah seorang nara sumber, beberapa produser melakukan cara apapun untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin. Misalnya sampai saat ini masih ada produser di Bali yang mengambil beberapa lagu Mandarin, dan dibebankan kepada musisi untuk diganti kata-katanya, lalu lagu tersebut diganti nama penciptanya dan kemudian dinyanyikan oleh seorang penyanyi terkenal, iramanya Mandarin tapi bahasanya bahasa Bali. Demikian juga dengan lagu dangdut SMS yang diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di Sumatra Barat. Adalah suatu lagu yang mengadaptasi lagu India.
• Keenam, merekam gambar pada saat pertunjukan berlangsung. Pengambilan bukan berasal dari tv tetapi langsung dari tempat suatu pertunjukan berlangsung. Biasanya diambil melalui alat rekam yang sederhana saja (handycam). Hasil rekaman tersebut kemudian dijual dalam bentuk vcd. Dalam format vcd bajakan tersebut, gambar yang dilihat dapat berupa pertunjukkan langsung dari artis atau grup band yang direkam, bisa juga diisi dengan lagu lain. Artinya gambar berasal dari pertunjukkan secara langsung tetapi lagunya adalah lagu yang lain yang tidak dinyanyikan di pertunjukkan tersebut.

Selain itu, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta lainnya. Dalam hal ini adanya penggunaan lagu-lagu untuk nada dering maupun nada panggil yang digunakan pada handphone tanpa izin. Akan tetapi, kasus ini tidak banyak dijumpai di wilayah-wilayah yang diteliti.
Fenomena yang paling umum ditemui dalam industri musik lokal adalah adanya produk legal tetapi tidak sah . Produk industri musik dibuat secara benar, artinya tanpa melakukan pembajakan atau pelanggaran karya cipta, tetapi tidak mempunyai izin produksi maupun izin penjualan dari departemen perindustrian, keuangan, atau kehakiman.

Kenapa Pelanggaran Hak Cipta Muncul?
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan mengenai hak cipta sangat beragam, ada yang menunjukkan persamaan dengan situasi dan kondisi industri musik nasional dan ada pula yang menunjukkan kondisi setempat yang unik. Seperti halnya pada situasi dan kondisi industri musik nasional, pada kondisi industri musik lokal pun ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan.
Pihak pertama yang mendapat keuntungan dari produk bajakan adalah para pembajak. Secara ekonomis pelaku pembajakan mendapatkan keuntungan yang paling besar, karena tanpa susah payah dapat menjual karya orang lain. Si pembajak tidak terlibat dalam proses panjang pembuatan suatu produk album musik yang meliputi perencanaan, pengadaan lagu, pencarian penyanyi, dan proses perekaman yang memakan waktu panjang. Dari segi biaya, si pembajak juga sangat diuntungkan. Karena tidak perlu membayar penyanyi, musisi, pencipta lagu, biaya iklan; kemudian tidak membayar pajak dan dijual di emperan yang juga tidak bayar pajak.
Sementara dari sisi konsumen, ada yang dirugikan dan diuntungkan. Konsumen yang dirugikan adalah konsumen yang membeli dengan harga barang asli (original) tetapi pada kenyataannya mendapatkan barang bajakan. Sedangkan konsumen yang diuntungkan adalah konsumen yang memang secara sadar menghendaki barang bajakan. Hal itu disebabkan harga yang jauh lebih murah, tanpa memperdulikan kualitas produk. Dalam industri musik pada umumnya, konsumen yang secara sadar membeli produk bajakan adalah target marketing yang utama bagi pembajak. Konsumen tersebut pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah bawah yang memerlukan hiburan dengan biaya murah. Pertautan antara produsen dan konsumen tersebut menjadi salah satu sebab maraknya pembajakan dalam industri musik lokal.
Selain itu penyebab maraknya produk bajakan dalam industri musik lokal adalah lemahnya pengawasan aparat (dalam hal ini kepolisian). Pembajakan menyangkut perkara pidana dengan bentuk delik umum. Artinya pihak kepolisian tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat korban pembajakan, melainkan harus aktif mencegah dan memberantas pembajakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang terjadi di berbagai daerah yang diteliti. Pada umumnya keberadaan pembajak tidak tersentuh hukum, dengan demikian para pedagang produk bajakan dengan leluasa menggelar dagangannya secara terbuka. Seperti di Pasar Genteng di Surabaya, Pasar Kota Kembang, Cicadas, dan Tegalega di Bandung, berbagai pasar tradisional di Bali, serta pasar Tanjungpura dan jalan Dipenogoro di Pontianak adalah surga bagi pembajak dan peminatnya. Bahkan di kota Singkawang banyak dijumpai toko-toko yang menjual album-album bajakan secara terbuka, toko-toko tersebut seperti toko-toko kaset yang menjual album resmi dan legal. Operasi-operasi pemberantasan pembajakan hak cipta hanya dilakukan di beberapa wilayah saja di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Sedangkan di wilayah lainnya tidak pernah diadakan operasi pemberantasan album-album rekaman bajakan.
Bahkan yang lebih tragis adalah adanya dugaan bahwa aparat melindungi pembajak, seperti yang terjadi di Surabaya. Menurut salah seorang informan, setiap perusahaan rekaman di Surabaya diharuskan membayar upeti sebanyak 40 juta setiap bulannya. Dengan uang upeti sebanyak itu, dijamin tidak akan ada gangguan dari aparat kepolisian. Aparat kepolisian justru akan bertindak untuk melakukan operasi pembajakan terhadap perusahaan rekaman yang tidak membayar upeti. Meskipun itu perusahaan rekaman yang tidak memproduksi produk bajakan.
Sementara itu, pembajakan yang dilakukan di Bali diduga melibatkan orang dalam di perusahaan rekaman sendiri, gejalanya adalah album rekaman legal belum diedarkan secara resmi tetapi produk bajakannya sudah beredar luas. Menurut salah seorang informan, ada kemungkinan perusahaan rekamannya yang membajak dirinya sendiri supaya tidak bayar pajak. Kemungkinan lainnya perusahaan rekaman bekerjasama dengan pembajak. Kedua modus operandi tersebut dilakukan dengan maksud memangkas biaya produksi.
Di Bali jaringan pembajak itu cukup kuat sehingga bisa bargaining dengan produser. Misalnya Z Record akan mengeluarkan album rekaman, maka dia akan mendatangi atau mengundang pembajak untuk memproduksi album rekaman resmi tersebut dalam bentuk bajakannya. Selain memangkas biaya seperti yang telah diuaraikan di atas, hal tersebut juga merupakan suatu kiat pemasaran. Karena dapat memanfaatkan jaringan distribusi para pembajak sehingga bisa lebih cepat menuju pasar. Apabila dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, maka peredaran album rekaman harus menunggu beberapa waktu lagi untuk diluncurkan karena harus menunggu izin produksi dari pihak terkait. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa jaringan distribusi pembajak dapat memangkas waktu tempuh menuju pasar suatu produksi album rekaman. Adanya kerjasama produser rekaman dengan pembajak, merupakan suatu pola yang nampaknya umum karena di dalam industri musik nasional pun terjadi seperti itu.
Satu permasalahan lainnya dalam pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal adalah kurangnya kesadaran hukum dan akibat pembajakan dari korban pembajakan itu sendiri. Beberapa korban pembajakan bersikap pasrah karena ketidak tahuan hukum yang berkenaan dengan hak cipta, bahkan ada juga korban yang “berterimakasih” kepada pembajak karena sudah dianggap mempromosikan namanya. Beberapa informan yang menjadi korban pembajakan menyatakan bahwa masalah hak cipta lebih ke arah pengakuan atas hak cipta bukan masalah uangnya (economy rights).

Beberapa Upaya Mengatasi Pembajakan
Ketidakjelasan prosedur dan kekurang jelian pemerintah daerah dalam merespon industri musik di daerah mengakibatkan hilangnya suatu peluang untuk sumber pemasukan kas daerah dan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah daerah dalam melindungi hak cipta karya-karya musik daerah.
Hambatan dari ketidakadaan label dalam setiap produksi album rekaman lokal sempat membuat distributor album rekaman resmi menolak mengedarkan produk tanpa label izin produksi. Baru setelah adanya jaminan bahwa kalau terjadi sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum maka si produser album rekaman lokal sendiri yang akan bertanggungjawab, maka beberapa distributor album rekaman resmi mau mendistribusikannya.
Selain ketidaktahuan prosedur untuk mengesahkan produknya sehingga dapat dijual di pasaran secara resmi, produk-produk bukan bajakan tetapi illegal, memperlihatkan suatu gejala kekurang tanggapan dari aparat terkait. Misalnya tidak nampak adanya pendekatan atau sosialisasi kepada para produser-produser musik di daerah. Kemudian juga lamanya prosedur pengesahan, dalam kasus di Pontianak lamanya izin industri memakan waktu selama tiga bulan. Ketiadaan label ijin produksi dan pajak bagi produk album rekaman lokal menyebabkan kesulitan tersendiri untuk menghadapi pembajakan. Apabila mereka melaporkan produknya telah dibajak mereka takut mendapat tuduhan balik bahwa produknya juga illegal berada di pasaran. Dalam hal ini produser produk-produk illegal bukan bajakan berada dalam posisi yang lemah.
Sementara itu bagi produser produk musik album lokal yang legal yang pernah menjadi korban pembajakan menunjukkan adanya keengganan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah pihak kepolisian akan meminta uang penyisisran yang tidak sedikit jumlahnya tanpa jaminan adanya suatu penyelesaian masalah. Dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib mereka akan mendapat kerugian yang lebih besar. Dengan istilah lain “melapor ke polisis hilang kambing malah akan jadi hilang sapi”. Demikian pula ketika melapor ke ASIRI, beberapa informan menyatakan tidak ada tanggapan. Padahal sebagai suatu lembaga yang berkepentingan dengan pemberantasan pembajak ini seharusnya ASIRI dapat merespon atau bahkan membantu produser-produser yang legal di daerah. Suatu fenomena memprihatinkan adalah putus asanya para produser yang legal terhadap upaya-upaya pemberantasan pembajakan. Upaya pemberantasan pembajak dianggap suatu yang sia-sia. Salah satunya nampak dari cover album rekaman kaset Genk Cobra, cukup terkenal di Yogyakarta dan Solo, yang menuliskan “Silahkan dibajak”.
Upaya lain yang dilakukan oleh produser musik lokal adalah dengan mencoba memberikan sentuhan moral dengan pesan yang dituliskan dalam produknya. Pesan tersebut seperti “sebagian dari penjualan kaset ini akan disumbangkan ke yatim piatu”. Hal seperti itu telah dilakukan oleh Jansen record di Makasar. Meskipun pesan moral tersebut dianggap juga tidak berhasil mengatasi pembajakan secara tuntas.
Cara penyelesaian kasus pembajakan di Pontianak nampaknya sangat unik dan dianggap berhasil untuk melindungi produk-prodduk industri musik lokal dari pembajakan. Yaitu dengan cara denda adat, yang melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Pembajak dan korban dipertemukan oleh para tetua adat, kemudian disepakati jumlah denda yang harus dibayarkan. Nampaknya proses penyelesaian dengan cara seperti itu efektif diterapkan di Pontianak. Karena, sejak kasus itu di Pontianak tidak ditemui lagi kasus pembajakan terhadap produk-produk industri musik lokal.

Kesimpulan
Tumbuhnya industri musik lokal di berbagai daerah di Indonesia kurang diimbangi dengan tumbuhnya kesadaran akan hak cipta. Hal ini dimungkinkan oleh pandangan bahwa industri musik di daerah merupakan industri musik pinggiran yang tidak memberikan kontribusi yang besar bagi pemerintah. Sehingga tidak secara khusus mengatur atau membina industri musik lokal. Padahal pemerintah daerah seharusnya lebih tanggap terhadap munculnya industri musik di daerahnya masing-masing, terutama mengenai perlunya perlindungan hak cipta bagi pelaku industri musik. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh adanya peluang pendapatan daerah dari industri musik, melainkan juga sebagai perlindungan kerja kreatif bagi pelaku industri musik di daerah. Dengan adanya perlindungan hak cipta maka pelaku industri musik lokal memperoleh manfaat maksimal dari hak ekonomi yang terkait dengan hak cipta. Demikian juga halnya dengan pemerintah daerah. Selain itu, bukankah dengan perlindungan hak cipta berarti turut serta melindungi kesenian setempat?
Pemerintah daerah dapat membantu perlindungan hak cipta bagi para pelaku industri musik lokal dengan memberikan sosialisasi mengenai hak cipta serta memberlakukan prosedur perijinan yang pasti dan mudah bagi suatu album rekaman. Lembaga-lembaga nonpemerintah yang terkait dengan industri rekaman pun seharusnya lebih tanggap dengan permasalahan-permasalahan musik di daerah, khususnya yang berkaitan dengan hak cipta. Sosialisasi mengenai hak cipta bagi pelaku industri musik lokal dan aparat pemerintah daerah terkait nampaknya menjadi “pekerjaan rumah“ yang mendesak untuk dilakukan. Selain itu lembaga-lembaga nonpemerintah tersebut dapat memberikan advokasi-advokasi bagi pelaku industri musik lokal dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta.
Kekuatan lembaga adat dapat juga dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam sosialisasi maupun menyelesaikan permasalahan-permasalahan hak cipta. Belajar dari kasus di Pontianak ternyata lembaga adat cukup efektif dalam menyelesaikan permasalahan hak cipta.

R. Muhammad Mulyadi
Pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjajaran
Peneliti Industri Budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.
Hak Cipta dalam Industri Musik Daerah

Oleh : R. Muhammad Mulyadi

Share with your friends

Silahkan tinggalkan komentar terbaik anda dan mohon untuk tidak memasukkan link di dalam form komentar.

Salam.
Admin

Baja Ringan Semarang