thejeo.blogspot.com |
Setelah ringback tone, giliran bisnis full track download menjadi harapan baru industri musik"Sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan ringback tone. Penggantinya apa setelah itu? Kami juga bingung. Kalau nggak ada penggantinya, label-label rekaman benar-benar bisa tutup,” ujar Jan Djuhana dengan ekspresi datar. Kedua tangannya mengepal menjadi satu di atas meja, seakan-akan ia seperti tengah berdoa. Semua orang yang hadir dalam ruangan dingin tersebut hanya bisa memperhatikan tanpa sedikit pun berani membantahnya.
Komentar pesimis tersebut diucapkan dua tahun yang lalu di ruang rapat kantor majalah Rolling Stone oleh Senior A&R Director Sony BMG Music Indonesia tersebut. Saat itu veteran pelaku bisnis rekaman Indonesia nan legendaris yang akrab disapa Pak Jan itu tengah menghadiri diskusi terbatas bagi edisi tahunan majalah ini yang membahas perkembangan terkini industri musik tanah air.
Berkat sentuhan emas tangannyalah Pak Jan sempat mempelopori tren penjualan album fisik (kaset dan CD) hingga jutaan keping di Indonesia pada akhir dekade ‘90-an melalui artis-artis seperti Sheila On 7 dan Padi. Kini, lebih dari sebelas tahun lalu, apa yang pernah dicapai industri ini menurut Pak Jan telah menjadi sebuah “impossible dream.”
Wajar jika seorang Jan Djuhana sepesimis itu, prestasinya mencetak penjualan unit kaset dan CD hingga berjuta-juta keping kini dengan ajaibnya tergantikan dan sangat bergantung dari bisnis nada tunggu alias ringback tone. Inilah satu-satunya jenis musik digital yang dapat menjadi tambang uang di negeri ini. Bayangkan, sepanjang 2009 lalu keuntungan yang berhasil diraih industri telekomunikasi dan industri musik dari ringback tone terbilang fantastis, diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun!
Masa keemasan penjualan album fisik di Indonesia secara resmi hampir ditutup. Awal dekade baru ini merupakan salah satu yang paling buruk dalam sejarah industri rekaman di tanah air. Tercatat hanya sekitar 10 juta keping album legal yang terjual di Indonesia pada tahun 2008, menurut data yang dikeluarkan ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia). Padahal tahun sebelumnya masih mencatat penjualan 19,4 juta keping dan 2006 sebesar 23,7 juta keping. Penjualan tahun lalu yang belum dirilis ASIRI hingga kini diperkirakan juga mengalami penurunan sekitar 10%-15%.
Sebaliknya, angka pembajakan musik fisik di Indonesia justru meningkat gila-gilaan. Jika di tahun 1996 ASIRI mencatat 20 juta keping album bajakan beredar, maka dua belas tahun kemudian atau di tahun 2008 jumlahnya membengkak fantastis hingga 550 juta keping! Rasio peredaran album musik bajakan dan legal di tahun 2007 bahkan telah mencapai 96% : 4%, angka ini disinyalir akan terus bertambah di tahun ini.
Tiga tahun lalu atau Maret 2007 ketika Rolling Stone menerbitkan feature berjudul “Industri Musik Kiamat?” hampir sebagian besar pelaku industri tak mempercayainya, melontarkan kritikan sinis bahkan mencibir analisis yang dianggap terlalu berlebihan. Kini sepertinya semua orang sepakat bahwa industri musik fisik tengah berada di ambang ajal akibat dihajar pembajakan dan perkembangan teknologi informasi.
Ratusan toko kaset dan CD di Indonesia telah tutup selama dua tahun terakhir ini, salah satunya bahkan sebuah toko yang telah puluhan tahun beroperasi dan menjadi ikon Bandung sebagai kota barometer musik: Aquarius yang terletak di Jalan Dago. Sejak Desember 2009, Aquarius Dago resmi going out of business.
Menurut keterangan Meidi Ferialdi, Marketing Manager Aquarius Musikindo, semakin tingginya harga sewa tempat di sana membuat pihaknya tidak bisa berkompromi lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan se-tiap tahunnya. Ia menjanjikan toko Aquarius akan dibuka kembali di Bandung di tempat yang berbeda, entah kapan tepatnya.
Label-label rekaman yang tergabung dalam ASIRI pun mengalami nasib yang sama: Tutup! Menurut Marulam J. Hutahuruk, Ge-neral Manager ASIRI, seperti dikutip dari Kompas.com, dari 240 anggota ASIRI kini hanya tersisa 76 perusahaan dan dari jumlah itu yang masih aktif berbisnis hanya tinggal 12-15 perusahaan rekaman besar.
Krisis ternyata tak hanya menghantam label-label rekaman besar. Indie label terkemuka Aksara Records yang telah menjadi salah satu tonggak pergerakan musik independen di tanah air dan menjadi rumah bagi band-band seperti Efek Rumah Kaca, Sore, Goodnight Electric, White Shoes & The Couples Company terpaksa ditutup sejak pertengahan Desember silam.
“Owner sudah menyatakan tidak akan melanjutkan lagi terjun di bisnis ini,” ujar Aldo Sianturi, Managing Director Aksara Records. Selain mundurnya pemodal, mismanajemen dan krisis industri rekaman berperan besar terhadap penutupan indie label bergengsi tersebut.
Yang lebih parahnya lagi, krisis ini bahkan telah membunuh pula genre musik! Dangdut yang selama ini diklaim sebagai musik asli Indonesia akhirnya harus menyerah di tangan industri musik yang telah melahirkan dan membesarkannya sejak dekade akhir ‘60-an.
Sepanjang 2009 hampir tidak ada rilisan album dangdut, beberapa radio dangdut terkemuka berubah format menjadi pop, bahkan stasiun-stasiun televisi swasta seperti menarik dukungannya bagi genre musik ini. Sepinya panggung dangdut akhirnya membuat ramai pula artis dangdut hijrah ke musik pop, salah satunya adalah ikon dangdut ngebor, Inul Daratista.
“Aku nggak lari dari dangdut, aku hanya memanfaatkan kesempatan. Karena pop beda dengan dangdut. Walau begitu aku tetap cinta ngebor,” ujar Inul Daratista, seperti dikutip dari Detik.com belum lama ini.
Kondisi ini tampak semakin diperparah oleh lepas tangannya pemerintah dalam upaya penyelamatan industri musik dari ancaman kiamat. Padahal ketika mencanangkan 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip dari Pikiran Rakyat, sempat berkata bahwa industri musik merupakan industri ekonomi kreatif yang mencatat angka pertumbuhan tercepat di antara jenis industri lainnya, sekitar 18% - 22%.
Toh, fakta bahagia ini tak lantas membuat pemerintah dan aparat penegak hukum bergerak cepat memberantas penyakit kronis industri ini: pembajakan! Terbukti, memiliki presiden yang juga pencipta lagu dan telah merilis tiga album penuh di dua periode masa jabatannya bahkan tak berguna sama sekali untuk menuntaskan masalah pelik ini.
Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu pada pertengahan tahun lalu kepada Rolling Stone di Jakarta Convention Center dengan jujur mengakui pihaknya memang agak kendor dalam melakukan kontrol dan jarang melakukan razia produk bajakan yang kini telah merambah ke mal serta pusat-pusat perbelanjaan terkemuka di tanah air.
Namun semua kabar buruk dan raut bopeng industri musik ini seperti mendadak sirna pada hari Senin, 18 Januari 2010 silam di Blowfish Kitchen & Bar, Jakarta. Optimisme mulai terpancar kembali. Sejak pagi-pagi sekali seluruh jajaran top eksekutif industri rekaman dan industri musik negara ini telah berkumpul di salah satu sentra dugem paling digandrungi belakangan ini di ibukota.
Wajah-wajah cerah dengan senyum tersungging di bibir saling bertegur sapa serta bercengkerama dengan antusiasnya. Di antara wajah-wajah optimis penguasa industri rekaman nasional tersebut tampak Toto Widjojo (Managing Director Sony Music Entertainment Indonesia), Jusac Sutiono (Managing Director Warner Music Indonesia), Arnel Affandi (Managing Director EMI Music Indonesia), Gumi-lang Ramadhan (Direktur Musica Studios), Handi Santoso (Komisaris Trinity Optima Production), Rahayu Kertawiguna (Managing Director Nagaswara) dan Florine Lismanax (Direktur Operasional E-Motion Entertainment).
Tak ketinggalan pula para artis papan atas seperti Piyu Padi, Maia Estianty, Dewi Sandra, Ridho Irama, Geisha hingga Gruvi datang berbaur di sana. Ratusan wartawan dari berbagai media massa terkemuka juga berkumpul hingga membuat tempat dugem yang terbilang tidak terlalu besar itu menjadi penuh sesak dan gaduh hingar bingar.
Semuanya datang untuk menghadiri konferensi pers peluncuran sebuah layanan musik digital baru dari Telkomsel. Sebelum dimulai, duo akustik yang belakangan sangat digandrungi, Endah N’ Rhesa, menghibur para hadirin dengan nomor-nomor milik mereka sendiri maupun cover version. Cukup lama mereka bernyanyi di atas panggung dan sepertinya panitia tengah mengulur waktu.
Ternyata benar, sang empunya hajat memang belum juga datang. Namanya Sarwoto Atmosutarno, jabatannya adalah Direktur Utama Telkomsel, operator ponsel terbesar dengan 83 juta pelanggan di seluruh Indonesia. Perusahaan yang dipimpinnya sejak awal 2009 pada tahun lalu berhasil meraih keuntungan lebih dari Rp 550 miliar hanya dari ringback tone saja!
Ini artinya Telkomsel menguasai 55% dari seluruh pendapatan bersih yang diraih 11 operator ponsel penyedia layanan RBT. Ini adalah pencapaian terbesar yang pernah dicetak Telkomsel sejak layanan RBT ini diperkenalkan oleh Indosat untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 2004, hanya berselang dua hari lebih cepat dari Telkomsel yang meluncurkannya pada 19 Agustus 2004.
Walau ironis namun terbukti bahwa pihak yang menjadi juru selamat industri musik dari ambang kehancuran justru bukan pemerintah melainkan operator telekomunikasi seluler, lebih spesifiknya lagi bisnis ringback tone! Itulah alasan kuat mengapa sejak pagi-pagi sekali seluruh pelaku industri musik negeri ini kemudian ramai berkumpul menunggu kedatangan seorang Sarwoto Atmosutarno meluncurkan harapan baru bagi keberlangsungan industri ini, sebuah layanan single full track download bernama LangitMusik!
Suasana gaduh perlahan menjadi hening ketika acara konferensi pers akan segera dimulai. Di hari Senin yang biasanya sangat sibuk, Sarwoto hadir mengenakan kemeja santai putih dan topi fedora putih dengan celana panjang hitam sembari memegang tongkat. Gaya busananya pagi itu sekilas mengingatkan kepada bos mafia dalam film-film Hollywood. Secara panjang lebar de-ngan santai dan berwibawa ia menjelaskan alasan terjunnya Telkomsel ke bisnis mobile full track download bernama LangitMusik.
LangitMusik sementara ini memiliki katalog lebih dari 10.000 lagu multi-genre yang semuanya berasal dari Indonesia dan hanya bisa diunduh oleh pelanggan kartu Telkomsel. Di penghujung tahun ini mereka menargetkan terjadi pertambahan hingga 100.000 lagu dalam katalog musik hasil kerja sama dengan 48 label rekaman dan content provider yang ada di seluruh Indonesia. Artis-artis yang menjual musiknya di sini beragam, mulai dari generasi bintang masa lalu hingga bintang zaman sekarang. Dari Nidji, GIGI, Kerispatih, Vierra, Peterpan, Ebiet G. Ade, Rafika Duri, Iwan Fals hingga Chrisye.
Pelanggan Telkomsel yang ingin mengunduh sebuah lagu akan dikenakan biaya Rp 5.000 (belum termasuk pajak 10%) yang otomatis dipotong dari pulsa. Atau jika ingin- menyewa selama 30 hari, mereka akan dikenakan biaya Rp 3.000/lagu. Metode pembayaran layanan ini dapat dilakukan pula dengan layanan mobile wallet T-Cash. Setelah proses pengunduhan berhasil, pengguna nanti akan menerima sebuah file audio rata-rata berukuran 4-5 MB dengan bit rate 128 kbit/s.
“Hampir setiap minggu saya menandatangani pembayaran royalti miliaran rupiah dari penjualan ringback tone, ini jelas bukan industri kecil-kecilan lagi,” jelas Sarwoto santai.
Demi mainan baru ini, dalam konferensi persnya Sarwoto menargetkan pendapatan Telkomsel tahun 2010 dari bisnis musik digital yang baru diluncurkan ini sebesar Rp 1 triliun!
Majalah Rolling Stone
Silahkan tinggalkan komentar terbaik anda dan mohon untuk tidak memasukkan link di dalam form komentar.
Salam.
Admin