Ketika sebelum proklamasi, Sukarno berorasi, “beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncang dunia”, jelaslah bahwa empat orang di antaranya bukan dari jenis anak-anak pasangan Koeswojo dan Atmini. Khusus kepada Tony, Nomo, Yon, dan Yok, Sukarno yang kemudian menjadi presiden, menyiapkan pidato tersendiri yang dilontarkannya pada 17 Agustus 1965 di depan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia:
“Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia kenapa mesti Elvis-elvisan?”
Ketika pidato itu diucapkan, keempat anak Koeswojo sudah hampir dua bulan mendekam di penjara Glodok (Jakarta) dan menghuni sel nomor 15 bersama tiga tahanan lainnya. Mereka ditangkap 29 Juni 1965, setelah menyanyikan lagu The Beatles: “I Saw Her Standing There” di rumah seorang kolonel. Di tahun-tahun tersebut, barang siapa yang menggandrungi lagu-lagu Barat, dianggap kontra-revolusi dan terindikasi terlibat kegiatan subversif yang merong-rong budaya nasional.
Hari itu, karena peringatan ulang tahun kemerdekaan, Koes Bersaudara diberi jatah keluar sel dan boleh menerima tamu. Yang datang membesuk adalah sang adik, Koestami Koeswojo alias Miyik, ditemani personel grup band Dara Puspita yang diawaki Susi Nander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR. Dara Puspita adalah kelompok musik yang sama-sama menggandrungi The Beatles, meski belakangan lebih memilih “taat hukum” dan berhenti memainkan tembang-tembang band asal Liverpool itu.
Sebagai selebritas, Tony, Nomo, Yon, dan Yok memang tak kurang pembesuk. Selain empat saudara kandungnya (Jon, Din, Miyik, dan Ninuk), para fans dan pacar juga datang silih berganti membawa aneka makanan. Apalagi saat itu mereka sudah tak lagi menghuni ruang isolasi seluas 2 x 2 meter. Ukurannya memang sedikit lebih besar dibanding sel Bung Karno di penjara Banceuy (Bandung) yang hanya 1 x 1,7 meter saat menulis “Indonesia Menggugat” pada 1930. Tapi mereka harus berdesakan empat orang dan hanya ditemani tikar, dengan jeruji besi ukuran besar. Belakangan, keempatnya dipindahkan ke ruangan yang lebih luas, bersama tiga tahanan lainnya: Saleh yang ditahan karena korupsi, serta Atun dan Rahin yang terlibat kasus pembunuhan.
Meski begitu, tak seujung rambut pun mereka menyentuh para personel Koes Bersaudara. Tony dan adik-adiknya bahkan bersahabat baik dengan Om Yopie, seorang tahanan senior yang nama aslinya Tan Sio Gie alias Hartanto. Dibui karena membunuh seorang polisi!
“Ya, kami waktu itu memang selebritis. Waktu Koes Bersaudara dimasukin situ, orang-orang pada teriak ‘hidup Koes Bersaudara! Hidup Koes Bersaudara!’ hahaha...” kenang Yon Koeswojo, sang vokalis.
Selain statusnya sebagai pesohor, salah satu kunci keselamatan mereka di dalam penjara karena hampir setiap malam, mereka menghibur para narapidana dengan lagu-lagu merdu, termasuk syair-syair gereja yang menyentuh dan membuat trenyuh. Para sipir pun menghargai dan senang dengan keberadaan mereka di sana, yang membantu mengurangi ketegangan atmosfir penjara.
“Di dalam tahanan, saya menemui manusia-manusia yang berjiwa paling besar. Terhukum yang rata-rata adalah sahabat-sahabat setia. Ketika kami dibebaskan, ada beberapa penjahat kaliber berat yang mencucurkan airmata. Sungguh mengejutkan. Mereka betul-betul merasa kehilangan kami,” kata almarhum Tony Koeswojo dalam sebuah wawancara dengan Ekspres, 4 Oktober 1971.
Yang dimaksud Tony sebagai “penjahat kaliber berat” itu tak lain adalah Om Yopie yang saat itu berperan sebagai voorman, yakni napi senior (dan biasanya paling ditakuti), yang dipercaya menjaga keamanan bui. Tony pun mencipta sebuah lagu untuk sang “Voorman” :
Voorman jangan dulu kunci kamarku
Tunggu sebentar permintaanku
Kan kupetik bunga biru
Sebulan sebelum pidato “Elvis-elvisan” Bung Karno yang menyindir Koes Bersaudara, surat kabar Harian Rakjat, Minggu 18 Juli 1965, sudah memuat karikatur bergambar empat personel The Beatles yang berpakaian Inggris lengkap dengan dasi kupu-kupu. Mereka diilustrasikan sedang berjingkrak-jingkrak. Di atas karikatur itu, ada gambar piringan hitam bertuliskan “Kabir Manikebu” yang retak akibat pukulan tangan yang bertulis “Komdak VII/Djaya”.
“Kabir Manikebu” adalah akronim dari Kapitalis Birokrat - Manifesto Kebudayaan. Istilah pertama adalah julukan yang disematkan kaum Kiri pada lawan-lawan ideologis mereka, sementara Manikebu adalah kelompok budayawan, sastrawan, dan cendikiawan yang berseberangan paham dengan kelompok komunis. Istilah “manikebu” sendiri adalah akronim olok-olok yang diambil dari “mani kebo” alias sperma kerbau. Dan karikatur empat personel Beatles itu sepertinya juga ditujukan untuk mengolok-olok empat anak lelaki Koeswojo yang meringkuk di Glodok.
Sebulan pertama di tahanan, tak henti-hentinya Tony dan ketiga adiknya diinterogasi tentang berbagai hal seputar kenekatannya mendendangkan lagu-lagu Beatles di panggung-panggung terbuka. Tapi karena jawaban yang mereka berikan tetap sama—karena suka dan diminta para penonton, alias tak ada alasan politis—maka interogasi pun dihentikan.
Aturan hukum yang mereka langgar adalah Penetapan Presiden Nomor 11/1963 yang melarang musik-musik cengeng atau berbau Barat, dinyanyikan. Alasannya, lagu-lagu seperti milik Elvis Presley atau The Beatles tidak menunjukkan karakter budaya Indonesia, mengajarkan hura-hura, kontra-revolusi, dan merupakan produk negara Barat seperti Inggris dan Amerika yang dibenci Presiden Sukarno karena mendukung terbentuknya negara Malaysia. Padahal, Sukarno sendiri sedang menggelorakan Komando Ganjang Malaysia, dan menganggap pembentukan negara tersebut adalah proyek perpanjangan tangan kapitalisme dan imperialisme global di Asia. Istilah sangarnya neokolim alias neo-kolonialisme.
Dus, judul Penetapan Presiden 11/1963 itu sendiri sebenarnya jauh lebih seram: Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang juga diteken Sekretaris Negara, Mohammad Ichsan pada 16 Oktober 1963. Tentu saja di antara 20 pasal itu tak disebut secara gamblang tentang larangan menyanyikan lagu-lagu John Lennon atau Elvis Presley. Tapi di bagian Penjelasan, dinyatakan bahwa strategi, taktik, dan teknik kegiatan subversi itu “banyak dan beraneka ragam serta berubah dengan tipe perkembangan”.
Lalu muncullah rincian tentang apa-apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “teknik kegiatan subversi”, seperti: (1) operasi psikologis lewat desas-desus, pamflet, surat kabar; (2) pengacauan ekonomi; (3) pengacauan politik; hingga; (4) kebudayaan, yaitu memasukkan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing untuk merusakkan kepribadian bangsa melalui kesenian.
Tak cukup dengan itu, Presiden Sukarno juga mengeluarkan Instruksi Presiden yang memerintahkan segenap komponen bangsa untuk kembali ke kepribadian dan budaya nasional, menyusul pidatonya yang menggelegar pada 17 Agustus 1964 yang tersohor dengan judul Tavip: Tahun Vivere Pericoloso alias nyerempet-nyerempet bahaya. Saking seriusnya dengan urusan kebudayaan asing ini, dibentuklah panitia khusus yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jendral Achmadi pada 22 September 1964 (Majalah Pantau, 21 Oktober 2001). Tugasnya menyusun rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil Presiden untuk mengatasi apa yang dianggap sebagai dekadensi moral dan budaya, terutama di kalangan generasi muda. Warga negara yang masih mendengarkan atau memainkan musik-musik ngak ngik ngok harus ditindak oleh polisi.
Ngak ngik ngok?
Sudah pasti itu istilah ciptaan Bung Karno, yang pertama kali diucapkan secara resmi dalam pidato kenegaraan peringatan proklamasi 17 Agustus 1959. Setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli tahun yang sama, Sukarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun “penemuan kembali revolusi kita” dan lalu memperkenalkan konsep Manipol-USDEK (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
“Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock ‘n roll - rock‘n rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”
Tahun itu The Beatles memang belum lahir. John Lennon baru merintis melalui sebuah kelompok musik yang ia namakan The Quarrymen, di mana James Paul McCartney, George Harrison, atau Ringo Starr belum lagi bergabung. Nama The Beatles sendiri baru muncul pada Agustus 1960 atau setahun setelah Sukarno berpidato. Jadi yang dirujuk oleh pidato “penemuan kembali revolusi kita” itu sepertinya lagu-lagu rock ‘n roll angkatan Elvis Presley, Everly Brothers, Tommy Sands, atau aliran musik yang di Inggris kala itu dikenal sebagai skiffle.
Saat pidato ngak ngik ngok tahun 1959 itu, Koes Bersaudara juga belum eksis. Baru Tony Koeswojo yang jadi “anak band” di sekolahnya lewat kelompok Gita Remaja yang ia dirikan bersama teman-temannya. Sementara adik-adiknya seperti Nomo, Yon, dan Yok belum bergabung dan lebih sering menonton sang kakak bermain musik di rumah. Tapi seruan Bung Karno itu terlanjur bergulir menjadi gerakan kebudayaan yang sangat kental nuansa ideologis. Kelompok komunis menyerang produk-produk kesenian Barat sembari menonjolkan apa yang mereka sebut sebagai kesenian rakyat, sementara kalangan kelas menengah terdidik menolak mengaitkan kesenian dengan sentimen politik dan ideologi. Saat Koes dibui, Juni 1965, beberapa seniman mendatangi kejaksaan dan meminta penjelasan tentang batasan musik dan irama seperti apa yang dibolehkan dan mana yang dilarang. (*)
Oleh Dandhy Dwi Laksono, wartawan freelance dan penulis buku
Pengantar Redaksi: tulisan ini adalah nukilan salah satu bab di bakal buku biografi Koes Plus yang sedang dikerjakan penulis dan beberapa rekan. Judul tulisan ini juga bukan judul sebenarnya. Buku yang tengah ditulis itu juga bercerita tentang operasi kontra-intelijen yang melibatkan Koes Plus, baik selama kampanye Ganyang Malaysia maupun di Timor Timur.
“Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia kenapa mesti Elvis-elvisan?”
Ketika pidato itu diucapkan, keempat anak Koeswojo sudah hampir dua bulan mendekam di penjara Glodok (Jakarta) dan menghuni sel nomor 15 bersama tiga tahanan lainnya. Mereka ditangkap 29 Juni 1965, setelah menyanyikan lagu The Beatles: “I Saw Her Standing There” di rumah seorang kolonel. Di tahun-tahun tersebut, barang siapa yang menggandrungi lagu-lagu Barat, dianggap kontra-revolusi dan terindikasi terlibat kegiatan subversif yang merong-rong budaya nasional.
Hari itu, karena peringatan ulang tahun kemerdekaan, Koes Bersaudara diberi jatah keluar sel dan boleh menerima tamu. Yang datang membesuk adalah sang adik, Koestami Koeswojo alias Miyik, ditemani personel grup band Dara Puspita yang diawaki Susi Nander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR. Dara Puspita adalah kelompok musik yang sama-sama menggandrungi The Beatles, meski belakangan lebih memilih “taat hukum” dan berhenti memainkan tembang-tembang band asal Liverpool itu.
Sebagai selebritas, Tony, Nomo, Yon, dan Yok memang tak kurang pembesuk. Selain empat saudara kandungnya (Jon, Din, Miyik, dan Ninuk), para fans dan pacar juga datang silih berganti membawa aneka makanan. Apalagi saat itu mereka sudah tak lagi menghuni ruang isolasi seluas 2 x 2 meter. Ukurannya memang sedikit lebih besar dibanding sel Bung Karno di penjara Banceuy (Bandung) yang hanya 1 x 1,7 meter saat menulis “Indonesia Menggugat” pada 1930. Tapi mereka harus berdesakan empat orang dan hanya ditemani tikar, dengan jeruji besi ukuran besar. Belakangan, keempatnya dipindahkan ke ruangan yang lebih luas, bersama tiga tahanan lainnya: Saleh yang ditahan karena korupsi, serta Atun dan Rahin yang terlibat kasus pembunuhan.
Meski begitu, tak seujung rambut pun mereka menyentuh para personel Koes Bersaudara. Tony dan adik-adiknya bahkan bersahabat baik dengan Om Yopie, seorang tahanan senior yang nama aslinya Tan Sio Gie alias Hartanto. Dibui karena membunuh seorang polisi!
“Ya, kami waktu itu memang selebritis. Waktu Koes Bersaudara dimasukin situ, orang-orang pada teriak ‘hidup Koes Bersaudara! Hidup Koes Bersaudara!’ hahaha...” kenang Yon Koeswojo, sang vokalis.
Selain statusnya sebagai pesohor, salah satu kunci keselamatan mereka di dalam penjara karena hampir setiap malam, mereka menghibur para narapidana dengan lagu-lagu merdu, termasuk syair-syair gereja yang menyentuh dan membuat trenyuh. Para sipir pun menghargai dan senang dengan keberadaan mereka di sana, yang membantu mengurangi ketegangan atmosfir penjara.
“Di dalam tahanan, saya menemui manusia-manusia yang berjiwa paling besar. Terhukum yang rata-rata adalah sahabat-sahabat setia. Ketika kami dibebaskan, ada beberapa penjahat kaliber berat yang mencucurkan airmata. Sungguh mengejutkan. Mereka betul-betul merasa kehilangan kami,” kata almarhum Tony Koeswojo dalam sebuah wawancara dengan Ekspres, 4 Oktober 1971.
Yang dimaksud Tony sebagai “penjahat kaliber berat” itu tak lain adalah Om Yopie yang saat itu berperan sebagai voorman, yakni napi senior (dan biasanya paling ditakuti), yang dipercaya menjaga keamanan bui. Tony pun mencipta sebuah lagu untuk sang “Voorman” :
Voorman jangan dulu kunci kamarku
Tunggu sebentar permintaanku
Kan kupetik bunga biru
Sebulan sebelum pidato “Elvis-elvisan” Bung Karno yang menyindir Koes Bersaudara, surat kabar Harian Rakjat, Minggu 18 Juli 1965, sudah memuat karikatur bergambar empat personel The Beatles yang berpakaian Inggris lengkap dengan dasi kupu-kupu. Mereka diilustrasikan sedang berjingkrak-jingkrak. Di atas karikatur itu, ada gambar piringan hitam bertuliskan “Kabir Manikebu” yang retak akibat pukulan tangan yang bertulis “Komdak VII/Djaya”.
“Kabir Manikebu” adalah akronim dari Kapitalis Birokrat - Manifesto Kebudayaan. Istilah pertama adalah julukan yang disematkan kaum Kiri pada lawan-lawan ideologis mereka, sementara Manikebu adalah kelompok budayawan, sastrawan, dan cendikiawan yang berseberangan paham dengan kelompok komunis. Istilah “manikebu” sendiri adalah akronim olok-olok yang diambil dari “mani kebo” alias sperma kerbau. Dan karikatur empat personel Beatles itu sepertinya juga ditujukan untuk mengolok-olok empat anak lelaki Koeswojo yang meringkuk di Glodok.
Sebulan pertama di tahanan, tak henti-hentinya Tony dan ketiga adiknya diinterogasi tentang berbagai hal seputar kenekatannya mendendangkan lagu-lagu Beatles di panggung-panggung terbuka. Tapi karena jawaban yang mereka berikan tetap sama—karena suka dan diminta para penonton, alias tak ada alasan politis—maka interogasi pun dihentikan.
Aturan hukum yang mereka langgar adalah Penetapan Presiden Nomor 11/1963 yang melarang musik-musik cengeng atau berbau Barat, dinyanyikan. Alasannya, lagu-lagu seperti milik Elvis Presley atau The Beatles tidak menunjukkan karakter budaya Indonesia, mengajarkan hura-hura, kontra-revolusi, dan merupakan produk negara Barat seperti Inggris dan Amerika yang dibenci Presiden Sukarno karena mendukung terbentuknya negara Malaysia. Padahal, Sukarno sendiri sedang menggelorakan Komando Ganjang Malaysia, dan menganggap pembentukan negara tersebut adalah proyek perpanjangan tangan kapitalisme dan imperialisme global di Asia. Istilah sangarnya neokolim alias neo-kolonialisme.
Dus, judul Penetapan Presiden 11/1963 itu sendiri sebenarnya jauh lebih seram: Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang juga diteken Sekretaris Negara, Mohammad Ichsan pada 16 Oktober 1963. Tentu saja di antara 20 pasal itu tak disebut secara gamblang tentang larangan menyanyikan lagu-lagu John Lennon atau Elvis Presley. Tapi di bagian Penjelasan, dinyatakan bahwa strategi, taktik, dan teknik kegiatan subversi itu “banyak dan beraneka ragam serta berubah dengan tipe perkembangan”.
Lalu muncullah rincian tentang apa-apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “teknik kegiatan subversi”, seperti: (1) operasi psikologis lewat desas-desus, pamflet, surat kabar; (2) pengacauan ekonomi; (3) pengacauan politik; hingga; (4) kebudayaan, yaitu memasukkan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing untuk merusakkan kepribadian bangsa melalui kesenian.
Tak cukup dengan itu, Presiden Sukarno juga mengeluarkan Instruksi Presiden yang memerintahkan segenap komponen bangsa untuk kembali ke kepribadian dan budaya nasional, menyusul pidatonya yang menggelegar pada 17 Agustus 1964 yang tersohor dengan judul Tavip: Tahun Vivere Pericoloso alias nyerempet-nyerempet bahaya. Saking seriusnya dengan urusan kebudayaan asing ini, dibentuklah panitia khusus yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jendral Achmadi pada 22 September 1964 (Majalah Pantau, 21 Oktober 2001). Tugasnya menyusun rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil Presiden untuk mengatasi apa yang dianggap sebagai dekadensi moral dan budaya, terutama di kalangan generasi muda. Warga negara yang masih mendengarkan atau memainkan musik-musik ngak ngik ngok harus ditindak oleh polisi.
Ngak ngik ngok?
Sudah pasti itu istilah ciptaan Bung Karno, yang pertama kali diucapkan secara resmi dalam pidato kenegaraan peringatan proklamasi 17 Agustus 1959. Setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli tahun yang sama, Sukarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun “penemuan kembali revolusi kita” dan lalu memperkenalkan konsep Manipol-USDEK (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
“Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock ‘n roll - rock‘n rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”
Tahun itu The Beatles memang belum lahir. John Lennon baru merintis melalui sebuah kelompok musik yang ia namakan The Quarrymen, di mana James Paul McCartney, George Harrison, atau Ringo Starr belum lagi bergabung. Nama The Beatles sendiri baru muncul pada Agustus 1960 atau setahun setelah Sukarno berpidato. Jadi yang dirujuk oleh pidato “penemuan kembali revolusi kita” itu sepertinya lagu-lagu rock ‘n roll angkatan Elvis Presley, Everly Brothers, Tommy Sands, atau aliran musik yang di Inggris kala itu dikenal sebagai skiffle.
Saat pidato ngak ngik ngok tahun 1959 itu, Koes Bersaudara juga belum eksis. Baru Tony Koeswojo yang jadi “anak band” di sekolahnya lewat kelompok Gita Remaja yang ia dirikan bersama teman-temannya. Sementara adik-adiknya seperti Nomo, Yon, dan Yok belum bergabung dan lebih sering menonton sang kakak bermain musik di rumah. Tapi seruan Bung Karno itu terlanjur bergulir menjadi gerakan kebudayaan yang sangat kental nuansa ideologis. Kelompok komunis menyerang produk-produk kesenian Barat sembari menonjolkan apa yang mereka sebut sebagai kesenian rakyat, sementara kalangan kelas menengah terdidik menolak mengaitkan kesenian dengan sentimen politik dan ideologi. Saat Koes dibui, Juni 1965, beberapa seniman mendatangi kejaksaan dan meminta penjelasan tentang batasan musik dan irama seperti apa yang dibolehkan dan mana yang dilarang. (*)
Oleh Dandhy Dwi Laksono, wartawan freelance dan penulis buku
Pengantar Redaksi: tulisan ini adalah nukilan salah satu bab di bakal buku biografi Koes Plus yang sedang dikerjakan penulis dan beberapa rekan. Judul tulisan ini juga bukan judul sebenarnya. Buku yang tengah ditulis itu juga bercerita tentang operasi kontra-intelijen yang melibatkan Koes Plus, baik selama kampanye Ganyang Malaysia maupun di Timor Timur.
Silahkan tinggalkan komentar terbaik anda dan mohon untuk tidak memasukkan link di dalam form komentar.
Salam.
Admin