Cipto, Juna dan Edy : Kisah inspirasi 3 Sahabat - ReferensiBisnis.com

31 Agu 2013

Cipto, Juna dan Edy : Kisah inspirasi 3 Sahabat

Cipto, Juna dan Edy adalah 3 sahabat yang saling mendukung satu sama lain dan mempunyai mimpi yang sama, bagaimana hal ini bisa menjadi isnpirasi bagi kita semua? mari simak cerita singkatnya dan semoga bermanfaat.
Cipto Juna Edy

Inspirasi CIPTOJUNAEDY CS

Cipto Junaedy - Siang itu sungguh sangat terik. Tak ada awan yang menaungi ketiga santri yang tengah menjalani hukuman ‘jemur’ di tengah lapangan basket. Cipto Junaedy - Hukuman yang mereka dapati setelah kabur pada suatu malam ke sebuah bioskop di kota dekat pesantrennya. Ya, santri juga manusia, ingin merasakan kebebasan meski hanya sebentar saja. Ingin menikmati malam nan indah di tengah hingar bingar kota. Tetapi inilah konsekuensi yang harus mereka terima. Bukan hanya mereka, tetapi siapa pun yang mencoba keluar dari pesantren tanpa sepengetahuan kakak pengurus bagian keamanan maka seperti itulah hukumannya, dijemur di tengah lapangan, rambut di gunduli, dan digantungi kata-kata yang memalukan. Dan ketiga santri itu mau tak mau harus menerima dengan ikhlas segala hukuman itu.

“Man, lihat Ustad Andi bawa gunting. Pasti kita mau dibotakin!” Ujar Edy sedikit ketakutan.

“Baru dibotak. Itu sudah biasa!”Timpal Juna.

“Sudah kelas lima, masak masih takut dibotak, Her?!” Kata Cipto enteng saja.

Ustad Andi semakin mendekat. Gunting yang dipegangnya mengkilau terkena pancaran terik matahari siang itu. Sementara suasana pesantren penuh sesak, di lantai dua asrama puteri, di depan teras kelas, di masjid, berjuta pasang mata santri tertuju pada ketiga santri di tengah lapangan itu.

“Inzil at that. Turun!” perintah ustad Andi kepada ketiga santri itu. Mereka lekas menurutinya.

“Maadza syaahadtum fil baarihah. Apa yang kalian tonton tadi malam?” Bentak ustad Andi.

“Film tentang semangat, Ustad.” Jawab Cipto.

“Al maudhu’. Judulnya?”

“Mengejar Matahari.” Kata Juna.

“Sebelumnya kami minta maaf, ustad, kami akui kami salah. Tapi film tersebut harus kami tonton.” Kata Edy.

“Untuk apa? Apa pentingnya buat kalian?”

“Penting. Bahkan sangat penting!” Timpal Cipto.

“Untuk masa depan kami!” Lalu kata Juna.

“Masa depan? Bulshit!”

“Mungkin sekarang ustad katakan bulshit. Tetapi suatu saat kami pasti bisa seperti mereka.” Kata Juna.

Tegang. Wajah ustad Andi semakin memerah marah. Sementara ketiga santri itu tenang-tenang saja ditengah ketakutannya.

“Apa mimpi kamu?” ustad Andi menunjuk Juna.

“Sutradara! Saya ingin seperti Hanung Bramantyo.”

“Kamu…?!” Kali ini menunjuk Edy.

“Produser!”

“Seperti siapa?” Bentak ustad Andi.

“Dedy Mizwar!”

“Kamu, Cipto!”

“Saya ingin seperti Emha Ainun Nadjib. Beliau sangat hebat. Penulis naskah drama. Puitis. Berdakwah dengan seni…”

Ustad Andi menyeringai, “Bulshit! Kalian hanya omong kosong. Santri tidak begitu. Santri harus terjun kepada masyarakat, menjadi guru misalnya.”

Ketiga santri itu hanya diam saja, jauh di lubuk hatinya masing-masing mereka berontak. Mereka berkeyakinan akan membuktikan mimpi-mimpi yang diucapkannya barusan. Dan kemudian dengan lincah ustad Andi menggunting rambut mereka bertiga.

“Setelah ini diklimis! Tak ada sisa sehelai rambut pun!”

Dan para santri yang menonton pun harus kembali ke kelasnya. Cerita siang ini cukup sampai di sini.

Cipto Juna Edy  3 Sahabat


Sehari-hari setelah kejadian di lapangan itu, ketiga santri yang kini tak berrambut semakin ingin mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Mimpi yang bukan terlahir dari spontanitas di lapangan itu. Tetapi mimpi itu telah tertanam lama dari diri mereka. Di pesantren ini, siapa yang tak kenal dengan Cipto? Puluhan karya tulisnya selalu terpajang di mading pesantren. Bahkan banyak dari kalangan santriwati yang tersihir oleh kalimat indahnya. Buktinya, banyak surat berdatangan kepada Cipto, namun dia tak menanggapinya dengan serius.

Lalu, siapa yang tak kenal dengan Juna si bandel yang ngeyel? Tetapi tak ada yang mampu mengalahkannya dalam bidang drama atau seni peran. Dalam setiap pentas drama, Junalah sang tokoh utama. Karena kehebatannya itu, kepadanya dititipkan amanah sebagai ketua drama di pesantren ini.

Sementara Edy, ia adalah si tampan yang banyak pengikutnya. Ia bak raja, apapun keinginannya, cukup dengan sedikit kata dan telunjuk berbicara pasti kesampaian. Dari bentuk wajahnya, ia memang berbakat menjadi orang besar.

Itulah tiga santri gundul yang bercita-cita menggemparkan pesantren ini dengan mimpi-mimpi mereka.


“Man, ada cerita bagus nggak?” Tanya Juna.

“Buanyak. Untuk apa, Gung?”

“Ah, ente kaifa, Man. Penulis gak tahu informasi. Acara Panggung Gembira tinggal beberapa bulan lagi. Kita garap, kawan!”

“Oke. Siap!”

“Masalah dana, peralatan, pemain, biar produser kita yang urus. Kita bagian teknis dan lapangan…” kata Juna.

“Oke, kawan. Saya akan tulis skenarionya. Kebetulan saya punya cerita bagus tentang pesantren kita ini..”

“Sipp!, kita buktikan kepada ustad sombong itu, bahwa mimpi-mimpi kita bisa kita wujudkan…” mereka ber-tos dan saling menggenggam erat tangan.

“Man jadda wajada!” ujar keduanya.


Satu minggu, dua minggu Cipto menulis skenario untuk dipentaskan pada acara panggung gembira sebagai acara puncak tahunan pesantren. Edy telah menyeleksi semua pemainnya. Juna pun telah bersiap dengan strateginya menyutradarai skenario Cipto ke dalam sebuah drama.

“DI SINI AKU BAHAGIA” Itulah judul yang berhasil ditulis oleh Cipto. Berkisah tentang sindiran keadaan pesantren ini, berkisah tentang santri yang mencoba mewujudkan impiannnya. Berkisah tentang segala peristiwa di pesantren. Ketika membaca naskah ini, Juna langsung sepakat, menurutnya cerita ini akan menggegerkan pesantren, akan membangkitkan semangat bagi siapa saja yang menyaksikannya.

“Bukan main. Ini cerita dahsyat, kawan! Tak kusangka kau bisa menulisnya.”

“Jangan disangka-sangka, kawan. Begitulah seorang penulis. Tampang bukanlah cermin dirinya. Tetapi hati, aku menulis itu dengan hati…!”

“Ah, lebay ente, Man!” Edy memukul pundaknya.

“Jum’at sore kita latihan!” Ujar Juna, sang sutradara.

“Siap!” Seru Edy dan Cipto.

Dan siang itu, ruang kelas ini menjadi saksi bagi mereka bertiga, mimpi-mimpi mereka akan segera terwujud.


Waktu sungguh tak terasa, berjalan dengan sendirinya mengantarkan hari silih berganti, mengantarkan bulan kepada bulan lain. Dan hari ini, sampailah pada bulan yang ditunggu-tunggu oleh tiga santri itu. Bukan menunggu tumbuhnya rambut mereka yang telah digunduli beberapa bulan lalu. Tetapi saat ini yang mereka tunggu adalah pembuktian kepada siapa saja, bahwa kali ini mimpi-mimpi mereka akan terwujud.

Jum’at kali ini, tepat pada awal bulan Agustus sehabis sholat Jum’at akan diadakan gladi resik. Tentu bukan hanya kelompok Juna saja yang ikut serta dalam acara panggung gembira nanti, banyak kelompok lain yang akan menampilkan naskah dramanya. Tapi Juna tak ciut nyali. Meski memang panggung gembira ini adalah kali pertamanya bergabung bersama Cipto dan Edy. Beberapa tahun lalu, Juna bersama kelompok yang lain. Yang menjadi pegangan mereka saat ini adalah, man jadda wajada.

“Aku pesan pada kalian, kawan. Percaya diri! Yakinlah pada kemampuan kalian. Meski kita kecil, meski kita baru, tetapi dengan semangat, pasti kita bisa!” Ujar Juna pada para kru dan pemainnya.

Beberapa hari setelah gladi resik, cerita yang disutradarai Juna menjadi buah bibir di seluruh penjuru pesantren. Semua santri putera dan puteri membicarakannya. Bertanya-tanya, cerita apa yang dibawakannya. Semua menanti-nanti malam panggung gembira itu.

Dan malam yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Panggung utama begitu megah, background bersetting khas padang pasir dan paduan pesantren. Lampu-lampu kelap-kelip mewarnai pesantren ini. Merah, kuning, hijau, biru, berbagai warna menjadi satu.

Cipto membacakan narasinya, para pemain menaiki panggung dengan kostum yang berbeda, lampu panggung pun mulai dinyalakan. Ketika peran dimainkan dengan sempurna, semua mata terbelalak tertuju ke arah panggung. Haru-biru, tawa-tangis, benci-cinta, menyatu.

“Siapa yang nulis cerita ini, dahsyat banget?” tanya ustad Andi kepada ustad yang lain.

“Cipto, Tad. Sutradaranya Juna dan produsernya Edy!”

“Mereka hebat, bukan? Rupanya kita telah meremehkan kemampuan mereka. Mereka telah membuktikannya dengan sepenuh hati. Saya jadi teringat sebuah pepatah, man taanna naala ma tamanna, siapa yang berangan-angan ia pasti akan mendapatkan apa yang diangan-angankannya, tentunya selama ia mau berusaha untuk mewujudkannya!”

Cipto, Juna dan Edy, sekarang jadi buah bibir yang menggemparkan pesantren. Cipto telah berhasil menjadi Emha Ainun Nadjib. Juna telah berhasil menjadi Hanung dan Edy juga berhasil menjadi Dedi Mizwar.

Maka bermimpilah kalian wahai kawan!
NB: kisah ini saya ambil dari http://hubbulkitabah.wordpress.com/2013/05/31/sebuah-cerpen-inspired-by-3-idiots/ apabila ada kesamaan nama, cerita, dan tempat itu memang disengaja :D


Regard,

Cipto Junaedy

Share with your friends

1 komentar

Silahkan tinggalkan komentar terbaik anda dan mohon untuk tidak memasukkan link di dalam form komentar.

Salam.
Admin

Baja Ringan Semarang